Jakarta,Sinarpagibaru.com-Dede Rohman Ketua Dewan Pengurus Cabang Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DPC FSB GARTEKS KSBSI) Kabupaten Semarang Jawa Tengah, mendesak Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Jawa Tengah pada 2025 naik lebih layak.
Dede mengatakan dirinya bersama lintas serikat buruh/pekerja lainnya sudah memberikan poin-poin rekomendasi kenaikan upah kepada para calon gubernur di Pilkada Jawa Tengah 2024. Rekomendasi tersebut, dia mengatakan sudah selayaknya upah buruh di Jawa Tengah harus setara dengan provinsi lainnya.
“Saat ini saya bersama rekan-rekan aktivis buruh di Jawa Tengah sedang membahas secara rinci kelayakan upah buruh di Jawa Tengah untuk 2025 nanti. Pihak dari Universitas Diponegoro (Undip) juga sudah ikut membahasnya,” kata Dede, saat diwawancarai melalui seluler, Rabu (30/20/2024).
Dede menilai, kenaikan upah buruh di Jawa Tengah pada 2025 sudah sewajarnya mengalami naik 10 sampai 15 persen, dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kenaikan sebesar itu sudah wajar, ditengah sulitnya kebutuhan ekonomi. Kalau pun saat ini, pengusaha beralasan dunia mengalami resesi global, tapi dia mengatakan sah-sah saja buruh merekomendasikan kenaikan upah 10 sampai 15 persen.
“Sebelum terjadi pandemi Covid-19 dan resesi global, pengusaha selalu saja mencari alasan dunia sedang mengalami krisis ekonomi global dan buruh selalu menjadi tumbal. Sekarang ini kita hanya butuh ketegasan dari pemerintah, untuk memikirkan kesejahteraan buruh. Jadi jangan hanya pengusaha saja yang diprioritaskan,” tegasnya.
Dia mengungkapkan, Jawa Tengah dikenal upah termurah buat buruh di Indonesia. Taraf upahnya di tingkat kabupaten/kota sebesar Rp.2,5 sampai Rp.3 juta. Padahal, di wilayah ini sudah menjadi pusat industri. Karena perusahaan yang berada di Jabodetabek, Banten sudah relokasi di banyak kabupaten Jawa Tengah.
Kemudian, Dede menjelaskan, alasan upah murah di Jawa Tengah, karena pengusaha selama ini mengalami kesulitan, akibat kebijakan politik pemerintah setempat yang sulit mendapat ijin membuka perusahaan. “Termasuk praktik pungutan liar (pungli) juga masih banyak dilakukan oknum pejabatnya kepada pengusaha,” ungkap Dede.
Dede menegaskan, di Jawa Tengah sebenarnya tidak ada perusahaan yang tutup karena kenaikan upah. Apalagi, menurutnya, perusahaan di sektor Tekstil, Garmen, Sepatu dan Kulit (TGSL). Namun produksi dan labanya saja yang tidak naik. Karena yang menjadi agennya adalah para pemilik modal atau si pemilik pabrik. Para pemilik modal ini juga sudah mengambil keuntungan 30 perusahaan sebelum masuk ke perusahaan milik buyer.
Dede juga menjelaskan tawaran kenaikan upah buruh di Jawa Tengah sebesar 10 sampai 15 persen itu sudah realistis dengan kebutuhan ekonomi buruh sekarang ini. Karena upah murah yang diterima selama ini, membuat sebagian buruh mencari pekerjaan sampingan setelah selesai bekerja di perusahaan.
“Bahkan mohon maaf, diantara buruh ini ada yang bekerja di hiburan malam, karena upah yang mereka dapatkan memang tidak layak dari perusahaan,” ungkapnya.
Terakhir, Dede menyampaikan rekomendasi kenaikan upah sebesar 10 sampai 15 persen ini sebenarnya masih di negoisasi antara pengusaha dan pemerintah untuk mencari jalan tengahnya. Dan ia berharap, agar gubernur dan wakil gubernur di Pilkada Jawa Tengah 2024 nanti bisa memihak kepentingan buruh. (Andreas Hutagalung)