Kepala BNN RI: Pecandu Adalah Korban, Butuh Bantuan Medis dan Sosial

Marthinus Hukom Kepala BNN RI (Photo: Ist)

Jakarta,Sinarpagibaru.com-Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI), Marthinus Hukom, resmi membuka Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung di The Alana Hotel & Conference Center, Sentul City, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (25/11). Kegiatan ini mengusung tema “Analisis dan Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Bersama No. 1 Tahun 2014 Guna Mewujudkan Sinergi Penanganan Tindak Pidana Narkoba”. Dan ihadiri sejumlah pemangku kebijakan yang memiliki peran strategis dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) di Indonesia.

Dalam sambutannya, Kepala BNN RI kembali menyinggung langkah-langkah strategis dalam penanggulangan permasalahan narkotika, mengingat hal ini merupakan bagian dari Asta Cita Presiden Republik Indonesia. Kepala BNN RI juga memaparkan tiga moral standing yang harus menjadi pijakan dalam menangani permaslahan narkoba.

Pertama adalah dengan memandang kejahatan narkoba sebagai ancaman kemanusiaan dan peradaban manusia. Kepala BNN RI memberikan gambaran melalui paparan angka penyalahguna narkotika tahun 2023 yang mencapai 3,3 juta jiwa dengan prevalensi mencapai 1,73%.

Berikutnya adalah melakukan tindakan represif terhadap jaringan sindikat narkotika. Kepala BNN RI mengatakan penegakan hukum harus menyasar jaringan narkoba secara menyeluruh, bukan hanya pelaku pada tingkat pengguna (pecandu narkoba).

Baca Juga :  Menteri PPMI: Lebih Lima Juta Pekerja Imigran Ilegal Bekerja di Luar Negeri

Moral standing  ketiga yang disebutkan Kepala BNN RI adalah sikap humanis terhadap pengguna narkotika. Menurutnya, para penegak hukum harus mulai mengubah paradigma bahwa pengguna (pecandu) narkoba merupakan korban yang membutuhkan rehabilitasi medis dan sosial, bukan dijadikan tahanan semata. Hal tersebut diperkuat dengan kondisi overkapasitas yang didominasi oleh pelaku tindak kejahatan narkotika.

“Kita harus melihat mereka (pecandu narkotika) sebagai korban. Karena mereka adalah korban, maka penangkapan yang kita lakukan itu hanya membuat mereka semakin menjadi korban. Mereka sakit dan membutuhkan intervensi medis dan sosial,” pungkas Kepala BNN RI.

Selain itu, Kepala BNN RI juga menyoroti sejumlah kelemahan dalam implementasi Undang-Undang Narkotika. Ia mengungkap adanya pasal-pasal yang dijadikan alat transaksional, terutama terkait rehabilitasi.

“Kita perlu membaca kembali aturan hukum yang ada. Banyak pasal yang belum maksimal, sehingga revisi undang-undang narkotika menjadi kebutuhan mendesak,” jelasnya.

Mencoba membenahi hal tersebut, selama periode Januari hingga Oktober 2024, BNN telah melaksanakan asesmen terhadap 8.677 tersangka melalui proses Tim Asesmen Terpasu (TAT). Dari jumlah tersebut, 5.596 kasus direkomendasikan untuk menjalani rehabilitasi, baik secara rawat inap maupun rawat jalan. Namun, pelaksanaan rekomendasi ini masih menghadapi tantangan, termasuk adanya disparitas dalam putusan pemidanaan di beberapa kasus.

Baca Juga :  Bertolak ke Saudi, Menag Bahas Ta'limatul Hajj dengan Kementerian Haji

Secara garis besar diskusi ini dilakukan untuk mengevaluasi implementasi Peraturan Bersama Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi. Dalam diskusi tersebut, para penegak hukum berupaya menyusun solusi atas tantangan pelaksanaan kebijakan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan, dan mendorong pengembangan pendekatan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika. (AH/Biro Humas Dan Protokol BNN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *