Jakarta, Sinarpagibaru– Aktivis serikat pekerja/buruh dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar Training Of Trainer (TOT). Peserta pelatihan tak hanya dari Kota Jakarta saja, namun melibatkan pengurus dari berbagai daerah. Acara tersebut mengusung tema “Peningkatan Kemampuan Pekerja Dalam Menghadapi Transisi Pekerjaan Baru” di Holiday Inn Express, Jakarta Timur (18-20 Mei 2025).
Emma Liliefna penanggung jawab acara dan mewakili Dewan Eksekutif Nasional (DEN) KSBSI, dalam kata sambutannya mengatakan, agenda TOT ini merupakan agenda konsolidasi serikat pekerja/buruh. Terutama dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Karena itu, serikat buruh harus bisa merumuskan agenda Transisi Berkeadilan (Just Transition) dalam bentuk ide dan gagasan.
Sejauh ini, kata Emma, pemerintah belum ada membuat regulasi just transition dalam dunia kerja, kepada buruh terkait dampak perubahan iklim. Padahal, dunia sekarang ini sedang memasuki transisi energi fosil dan batubara menuju energi terbarukan.
“Aktivis serikat buruh harus lebih aktif melakukan lobi dan advokasi, supaya pemerintah segera membuat regulasi just transition,”ujarnya.
Agenda TOT yang diadakan selama 3 hari tersebut, menghadirkan narasumber yang berkompeten dalam menyikapi masalah dampak perubahan iklim. Khususnya di dunia kerja. Dan agenda TOT, untuk mempersiapkan pengurus serikat buruh menjadi pelatih (trainer). Dimana, trainer ini nantinya bisa memberikan pendidikan kepada buruh di dunia kerja didaerah masing-masing.
“Semoga agenda pelatihan yang diadakan ini bermanfaat untuk semua peserta. Dan ilmu yang didapat peserta, bisa ditransformasikan kepada anggota diwilayah masing-masing,” ungkapnya.
Dalam pemaparan materi, Kahar S. Cahyono, perwakilan KSPI menyampaikan perubahan iklim itu nyata terjadi. Seperti mengancam kesehatan dan pekerja di dunia kerja. Selain itu, dampak perubahan iklim juga mengakibatkan polusi udara, air sehingga menimbulkan cuaca ekstrim.
“Perubahan iklim yang terjadi memang sangat nyata. Sekarang ini banyak terjadi banjir, kemarau berkepanjangan, gagal panen, bahkan berdampak menimbulkan penyakit baru,” jelasnya.
Sekadar tahu, perubahan iklim dimulai saat revolusi industri pada 1760-1830. Dimana era revolusi industri saat itu, dunia industri dan pertambangan pemakaian CO2 sangat meningkat. Seperti pemakaian batubara. Sehingga, ketika terjadi tingginya pemakaian CO2, berdampak pada kenaikan permukaan laut. Karena area es laut di Kutub Utara setiap tahun semakin mencair.
Ia mengungkapkan, dampak perubahan iklim juga menyebabkan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dan sekarang ini, telah banyak perusahaan mulai membuat kebijakan pengurangan jam kerja dan upah. Mirisnya, Cahyo mengatakan masih banyak perusahaan yang belum sadar tentang dampak perubahan iklim.
“Justru aktivis serikat buruh yang berinisiatif melakukan kampanye dan advokasi dampak perubahan iklim di dunia kerja, dan sedikit mendapat perhatian dari pemerintah,” ujarnya.
Karena itu, Cahyo mengajak aktivis buruh ikut mendorong pemerintah supaya menjalankan agenda “Paris Agreement 2015”. Tujuannya untuk menurunkan suhu global, dibawah 2 derajat Celcius diatas tingkat pra-industri. Dengan upaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius.
Berdasarkan pantauan, peserta TOT bersepakat melakukan lobi dan advokasi baik tingkat perusahaan, daerah, nasional dan internasional dalam agenda transisi berkeadilan. Seperti melakukan gerakan sosial dialog untuk mendorong Perjanjian Kerja Bersama (PKB), terkait perubahan iklim di perusahaan. Kemudian mendorong forum konsultasi tingkat daerah sampai nasional dalam menyikapi transisi energi kepada pemerintah.
Kemudian, mendorong agenda Tripartit Nasional yang fokus membahas dampak perubahan iklim. Serta mendorong agenda perubahan iklim sampai tingkat internasional. Seperti kampanye di forum International labour conference (ILC) di Jenewa, Swiss.
Rekson Silaban Majelis Penasihat Organisasi (MPO) KSBSI dalam pemaparannya mengatakan, dampak perubahan iklim memang mengalami transisi, yang ikut berdampak pada buruh di dunia kerja. Karena itu, gerakan buruh harus membangun gerakan transisi yangadil. Dengan melakukan pendekatan untuk memastikan perpindahan menuju ekonomi rendah karbon. Dimana, gerakan buruh harus memperhatikan keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan.
“Sampai hari ini, Indonesia masih terikat dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2016 Tentang pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim),” ujarnya.
Jadi, kata Rekson, gerakan serikat buruh di Indonesia harus berkomitmen memperjuangkan Paris Agrrement 2015. Supaya kedepannya tercipta transisi yang berkeadilan kepada buruh. Serikat buruh juga harus tampil melakukan pendampingan advokasi, pengawasan kebijakan Paris Agrrement melalui gerakan sosial dialog.
“Saya pikir, gerakan sosial dialog dan membangun lintas koalisi lintas sektor sangat efektif sekarang ini untuk mengawal pemerintah dalam menerapkan komitmen Paris Agrrement. Dimana dalam perjanjian tersebut, Indonesia harus menurunkan emisi 40 persen dalam sektor tambang, seperti batubara, minyak. Dan menjadikan pengalihan hutan menjadi lahan industri,” ujarnya.
Rekson menerangkan, tantangan aktivis serikat buruh dalam mengkampanyekan dampak perubahan iklim saat ini memang beragam. Diantaranya, kurangnya pemahaman bersama diantara aktivis serikat buruh secara teknis soal transisi energi dan digitalisasi. Lalu, minimnya akses informasi dan perwakilan serikat buruh sangat minim dilibatkan pemerintah dalam merumuskan kebijakan transisi energi.
“Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelatihan tentang kampanye dampak perubahan iklim dan energi terbarukan kepada buruh juga menjadi salah satu kelemahan di serikat buruh,” ungkap Rekson.
Mendesak Regulasi
Hal senada disampaikan Andy Wiliam P. Sinaga, perwakilan KSBSI. Ia menegaskan, bahwa salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim yang terjadi sekarang ini karena terjadi eksploitasi fosil di bawah bumi secara berlebihan. Eksploitasi fosil itu sudah banyak terjadi, seperti di Papua dan Kalimantan. Bahkan, kata dia, ada yang melakukan eksploitasi tersebut secara illegal.
“Indonesia salah satu negara yang menangdatangani Paris Agrrement. Dalam perjanjian tersebut, setiap perwakilan pemimpin negara harus berkomitmen mengatasi ancaman perubahan iklim secara global,” pungkasnya.
Andy menyarankan mengatakan aktivis serikat buruh harus berperan aktif, dengan melakukan advokasi dan lobi kepada pemerintah agar membuat regulasi transisi energi di dunia kerja. Terutama melakukan agenda sosial dialog dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Supaya pemerintah membuat regulasi regulasi yang memihak terhadap dampak perubahan iklim di dunia kerja.
“Perwakilan serikat buruh ada baiknya bisa menyatukan format materi kurikulum pendidikan tentang dampak perubahan iklim dan transisi energi. Agar saling berkesinambungan,” tandasnya.
Sementara itu, Loise Goldman dari International Organiser Union Aid Abroad APHEDA, mengatakan agenda transisi berkeadilan yang diperjuangkan aktivis buruh harus mengedepankan kerja yang layak. Proses transisi berkeadilan, sebaiknya memperhatikan jaminan sosial yang layak kepada masyarakat, apabila perusahaan dinyatakan tutup, ketika terdampak pada perubahan iklim.
Selain itu, Loise mengapresiasi atas terbentuknya forum konsultasi daerah yang dilakukan perwakilan serikat buruh di Palembang Sumatera Selatan dan Samarinda Kalimantan Timur. Dengan terbentuknya forum tersebut, ia mengatakan serikat buruh bisa memperjuangkan agenda transisi energi yang bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Ia menyampaikan, agar perwakilan serikat buruh mampu merumuskan ide yang menghasilkan solusi kepada kepala daerah, supaya ikut mendukung agenda transisi energi. Misalnya, saat audiensi dengan pejabat pemerintah daerah, perwakilan serikat buruh harus memastikan, perusahaan sektor tambang sudah menerapkan konsep Paris Agreement. Hal ini seperti yang dilakukan gerakan buruh internasional.
“Perwakilan serikat buruh yang sudah membentuk forum konsultasi juga harus memiliki ide dan gagasan tentang kerja yang layak dalam penerapan transisi berkeadilan di perusahaan tambang tempat buruh bekerja,” tandasnya. (AH)
Tinggalkan Balasan