Sinarpagibaru.com – Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menegaskan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) UU Kesehatan (Omnibus Law) serta mendesak DPR mengeluarkan UU SJSN dan UU BPJS dari RUU Kesehatan. Kemudian, KSBSI menyerukan kepada semua rakyat dan buruh peserta BPJS untuk menolak revisi UU SJSN dan UU BPJS dalam RUU Kesehatan.
Elly Rosita Silaban Presiden KSBSI mengatakan bahwa RUU Kesehatan ini naskah akademiknya sangat lemah. Bahkan, dia menilai DPR lupa atas prinsip-prinsip pengelolaan jaminan sosial bahwa BPJS wajib dikelola secara profesional dan independen. Serta bertanggung jawab langsung kepada presiden.
“DPR lupa BPJS badan hukum publik khusus milik peserta, masyarakat umum dan buruh, bukan milik pemerintah, bukan APBN.” kata Elly beberapa waktu lalu, saat memberikan materi diskusi dan membuka agenda Focus Group Discussion (FGD) RUU Kesehatan di Hotel Golden Boutique Jakarta Pusat.
Elly menegaskan BPJS harus dikelola independen. Karena sistem jaminan sosial nasional yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS merupakan program negara dan mengharuskan pengelolaannya berdasarkan 9 prinsip di atas serta badan hukum BPJS adalah badan hukum publik maka pengelolaan BPJS haruslah independen.
Kemudian, sebagai badan hukum publik kedudukan hukum BPJS adalah sama dengan Bank Indonesia (BI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian lainnya. Organ (Dewas dan Direksi) BPJS adalah sama dengan organ Bank Indonesia (Dewan Kehormatan dan Dewan Gubernur), organ KPK (Dewan Pengawas dan Komisioner).
Semua lembaga ini menjalankan fungsi dan tugasnya secara independen, tanpa campur tangan kementerian atau lembaga manapun.
Menurut Elly, campur tangan menteri mengurusi BPJS adalah kecelakaan politik. Karena RUU Kesehatan mendesaian keterlibatan langsung Menteri Kesehatan, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Keuangan mengurusi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, BPJS itu bukan BUMN, jadi tidak ada CSR.
Selain itu, DPR harus juga mengingat bawah BPJS Ketenagakerjaan bukan lagi PT. Jamsostek yang dapat mensponsori berbagai event atau dijadikan pundi-pundi untuk sumber dana non-budgeter melalui pogram CSR (Corporate Social Responsibility). BPJS tidak memilik program CSR. Dan pemegang sahamnya bukan lagi pemerintah, tetapi peserta atau buruh yang membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah.
Harusnya DPR memperkuat kewenangan DJSN, Dewas dan Direksi BPJS. DPR harus membuat regulasi dalam kerangka memperkuat independensi, kedudukan dan kewenangan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dewan Pengawas dan Dewan Direksi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk membangun sistem jaminan sosial nasional.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan RUU Kesehatan ini bertujuan memperbaiki dari sisi suplai. Dimana pern dokter, rumah sakit, alat kesehatan dan sebagainya harus lebih banyak. RUU Kesehatan saat ini sedang diproses dan dibahas di DPR, draf dari pemerintah sudah diserahkan melalui Kementerian Kesehatan.
“Diduga sudah diserahkan, dan RUU Kesehatan ini menjadi inisiatif DPR, tapi agak lucu juga, agak aneh, kalau dibilang inisiatif DPR, karena ini inisiatif pemerintah memberikannya ke DPR, DPR menjadi organ yang menginginkan ini hadir, karena permintaan dari pemerintah.” jelas Timboel.
Lebih lanjut, Timboel mempresentasikan sekilas terkait masalah RUU Kesehatan. Dimana, ini merukan upaya mengembalikan BPJS Kesehatan untuk kembali seperti dulu ke BUMN.
“Itu yang kita tolak, bahwa BPJS ini adalah independen, BPJS harus mengelola uang peserta dan dikembalikan ke kita, peserta. Dan ini tidak bisa dimain-mainkan, dalam hal seperti yang terjadi ketika dulu Jamsostek dan Askes dibawah BUMN.” ungkapnya.
Timboel menegaskan akan mengawal RUU Kesehatan yang saat ini berproses di DPR. Dimana DPR punya kepentingan dengan uang-uang yang besar. “Uang besar ini harus kita lindungi supaya jangan menjadi celah bagi mereka, untuk bisa dicawe-cawe, atau dimainkan untuk kepentingan Partai atau kelompok mereka masing-masing,” tegasnya. (Andreas/red)