JAKARTA, Sinarpagibaru.com – Universitas Paramadina, mengadakan Evaluasi Akhir Tahun pada Bidang Sosial Keagamaan melalui zoom meeting pada Senin 11 Desember 2023 yang dimoderatori oleh Dhea Meghatruh.
Dr. Budhy Munawar-Rahman, Direktur PCRP mengungkapkan bahwa Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman keagamaan yang tinggi, dimana masyarakatnya menganut berbagai agama dan kepercayaan. “Indonesia terus mengelola keragaman agama dengan relatif damai, pentingnya toleransi dan dialog antar agama menjadi kunci untuk mencapai harmoni dalam masyarakat yang beragam,” kata Budhy.
Peran pemerintah dalam mengelola kehidupan keagamaan, mendukung toleransi antar agama, melindungi kebebasan beragama, dan menjaga keseimbangan antara agama-agama yang berbeda. Selanjutnya pendidikan keagamaan melihat efektivitas sistem pendidikan keagamaan, mengenai pemahaman yang baik tentang nilai-nilai toleransi dan kerjasama antar agama. “Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam keragaman agama yaitu: Ketegangan antara gama, diskriminasi dan intoleransi, konversi agama dan kontroversi, Undang-Undang Blasphemy (Penodaan Agama), peran agama dalam politik, dan ketidaksetaraan hukum dan hak-hak sipil,” lanjut Budhy.
Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D. Dosen Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina melihat masih perlu ditegaskan bagaimana milenial demokrasi itu dapat diekspresikan oleh para pemuka agama, tentunya berkaitan dengan masalah etika politik dan demokrasi itu adalah penyampaian yang bersifat etis. “Belum sepenuhnya organisasi keagamaan khususnya Islam belum ada keseimbangan masalah etika politik ini. baik lembaga-lembaga yang ada, partai politik, lembaga pemerintahan, dan lain sebagainya” kata Pipip.
Adanya gejala-gejala politik itu memilih penguasa yang bagaimanapun membiarkan mereka berkuasa. Maka kepentingan ulama pada waktu itu bagaimana agar mahzab Sunni menjadi pegangan dari para penguasa. Sehingga Pipip berkesimpulan bahwa sedikit banyak masih berpengaruh dalam pemikiran politik umat Islam yang melihat segala sesuatunya dalam politik modern yang demokrasi, sesuai dengan paham mahzabnya.
Dr. Herdi Sahrasad dosen Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina, melihat masih ada beberapa aksi intoleransi yang terjadi di Indonesia. “Ada berbagai faktor, dan tidak ada sebab yang tunggal. Selalu berkaitan dengan faktor sosial keagamaan dan ekonomi politik, ke depan harus membangun nilai-nilai etik disaat moral etik politikus saat ini sudah bangkrut dengan keadaan demokrasi yang defisit, demokrasi mengalami kemunduran yang disebabkan faktor akhlak” kata Herdi.
Dr. M. Subhi Ibrahim, Kaprodi Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina), mengungkapkan bahwa bukan hanya aktivitas ibadah, tetapi juga ada pembubaran aktivitas pendidikan Kristen ada di Binjai, Pekanbaru, Bireun dan beberapa wilayah lain. Mengutip Setara Institute, pelajar intoleransi aktif di Sekolah Menengah Atas meningkat. Survey Januari-Maret, di 5 kota (Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang). “Hasilnya 5,6 persen intoleran aktif. 0,5 persen terpapar. 99, 6 persen menerima perbedaan keyakinan. Bila ada penghinaan agama, 20, 2 persen tak bisa tahan untuk melakukan kekerasan. 61,1 persen lebih nyaman jika siswi muslim berjilbab. 56,3 persen mendukung penerapan syariat Islam. 83,3 persen menilai Pancasila bukan ideologi negara yang permanen, bisa diganti. 33 persen setuju bela agama, bahkan jika sampai harus mati pun” kata Subhi.
Menurutnya minoritas mengalah, mengikuti tekanan mayoritas tidak menyelesaikan masalah. Hak-hak tak terpenuhi, keadilan terabaikan. Idealnya, semua tegak lurus pada konstitusi. “Negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menghindari konflik, menjaga stabilitas jadi argumen justifikasi. Kekhawatiran berlebihan pada semacam “politik identitas” membuat aparat, pemerintah tak berani, canggung mengambil tindakan presisi. Padahal penegakan hukum sangat penting untuk membuat efek jera pada pelaku” lanjut Subhi.
Ihsan Ali Fauzi Direktur PUSAD Universitas Paramadina, yang memfokuskan pada advokasi kebebasan dalam berkeyakinan atau beragama (KBB) menyatakan “Naik turunnya KBB di berbagai wilayah di Indonesia sehingga menyebabkan kekerasan. Banyak konflik terkait dengan penodaan agama, hal ini tentu menghambat penghormatan dalam KBB. Sebagian pegiat KBB mendapatkan pesan bahwa advokasi mereka berjalan di tempat, dan dituduh sebagai antek asing.”
Ihsan melihat hal tersebut membuat KBB sebagai ladang tandus di Indonesia, selama 2 dekade terakhir yaitu berlakunya sistem demokrasi dan desentralisasi setelah revolusi yang lebih dominan mengatur adalah paradigma kerukunan. “Sebenarnya demokrasi dan desentralisasi membawa pengaruh baru. Sehingga kebebasan beragama harus ada resolusi menyeluruh untuk masalah ini. Mediasi dianggap perlu digalakkan karena mendudukan mendengarkan serta mencari solusi dari permasalahan yang terjadi” kata Ihsan.
Ihsan juga menyatakan pada dasarnya, KBB akan terjamin jika negara tidak turut ikut campur dalam kebebasan beragama. “Dalam demokrasi, politik identitas tak hanya mendapatkan dampak negatif tetapi bisa juga dampak positif. Kecurigaan berlebihan pada politik identitas berdampak pada pembungkaman kelompok kecil yang sedang memperjuangkan kepentingan mereka” tambahnya.
Dr. Aan Rukmana Dosen Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina berpendapat bahwa kemajuan budaya, tidak bisa lepas dari konteks kebudayaannya. “Berbagai diskusi mengenai masyarakat indonesia, muslim indonesia, dan tidak terlepas dari kebudayaan itu sendiri. Sehingga bangsa indonesia ini sudah memiliki akar budaya yang tidak hilang hingga saat ini.”
Aan melihat saat ini tidak ada otoritas keilmuaan yang melekat pada diri seseorang, tetapi dapat dengan cepat untuk melekatkan sebuah identitas atau otoritas keilmuan kepada lebih dari satu orang.
“Pentingnya mengembangkan kecakapan berpikir bagi santri, kreatifitas yang selalu membangun dan lebih kreatif, spirit of collaboration atau yang dapat diartikan bahwa sebuah sinergi yang di kolaborasikan dapat menghasilkan hasil yang maksimal” tutup Aan.
(Rls/Nvr)