JAKARTA, Sinarpagibaru.com – Diketahui bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuat rancangan undang-undang (RUU) untuk mengatur apa yang menjadi kewenangannya.
Namun dalam peraturan RUU KPI itu justru diduga telah dengan sengaja menabrak dan ingin mengambil alih Dewan Pers yang sudah lebih dulu punya kewenangan mengatur pers sebagai penyedia jasa informasi berita kepada publik.
KPI awalnya merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 32/2002 tentang penyiaran yang mengatur tentang media baru termasuk penjelasan tentang definisi medianya, hal ini pernah disampaikan Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, sewaktu Seminar Nasional di bilangan Senen, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
“Ini media sosial, media digital, media baru, atau apa? Agar definisinya jelas. Jangan sampai nanti ketika itu disahkan, siapa pun lembaga, baik KPI ataupun yang lain yang diamanahi pengawasan dan mengaturnya, tidak melampaui kewenangannya,” katanya.
Begitupun oleh Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Muhammad Farhan menekankan pentingnya masukan masyarakat terhadap penyempurnaan revisi Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Ia meyakini beleid revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 akan lebih sempurna dengan keterlibatan publik. “Proaktifnya masyarakat akan bermanfaat untuk penyempurnaan revisi UU Penyiaran,” kata Farhan seperti yang dikutip dari laman dpr.go.id, Senin (27/5/2024).
Seolah sama sekali tidak menyinggung jurnalistik dalam pekerjaannya. Namun belakangan didapati teks RUU KPI itu menyebut-nyebut kata jurnalis.
Sehingga mendapat kecaman keras dari para aktivis dan pelaku pers di Indonesia karena RUU penyiaran justru memasukkan pasal-pasal yang mengatur wartawan.
Terkait polemik tersebut, Rinaldo Saragih, yang juga adalah mantan pemimpin redaksi salah satu media nasional yang namanya juga pernah tercatat di buku data media dewan pers, menyebut bahwa pemerintah diduga ingin melemahkan dan kemudian mengambil alih kewenangan dewan pers.
Selama ini kebebasan pers sudah diatur oleh undang-undang pokok kebebasan pers nomor 40/1999 tentang Pers, yang berjalan dinamis mengikuti perkembangan jaman dalam penyajian informasi kepada publik.
Pada waktu itu Dewan Pers dibentuk oleh banyak organisasi wartawan sebagai lembaga yang independen alias bukan milik pemerintah yang bertugas sebagai penjaga marwah kebebasan pers agar tidak ada intervensi dari pemerintah.
Hal tersebut berjalan dari tahun ke tahun hingga saat ini, sehingga dapat memberikan informasi-informasi dari berbagai sisi, sehingga masyarakat dapat mencerna suatu informasi yang objektif dari sisi-sisi yang berbeda, ujarnya.
Namun adanya RUU KPI kenapa menyerempet kepada jurnalis?. Jadi wajar para aktivis kebebasan pers menolaknya, terang Rinaldo.
Oleh karena ada istilah jurnalis dalam teks RUU KPI, maka dia menduga ada oknum yang berniat melemahkan dewan pers secara terselubung sehingga dapat mengatur penyajian-penyajian informasi kepada masyarakat sesuai keinginannya, tegas Rinaldo.
“Tidak perlu pintar bagi pembuat RUU KPI untuk tidak menyebut-nyebut jurnalis karena sudah ada stakeholder yang menaungi, tapi masih saja dibuat didalamnya tentang jurnalis, atau jangan-jangan ada undang-undang titipan KPI ingin operalih garapan dari Dewan Pers ke KPI agar jurnalis tidak bebas lagi?, tutup Rinaldo.
Terkait polemik RUU KPI, Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu telah menyatakan sikapnya menolak keras RUU KPI. Dia menilai bahwa pers sudah diatur oleh undang-undang pokok kebebasan pers Nomor 40/1999 tidak boleh tumpang tindih. (ronal/red)
Tinggalkan Balasan