JAKARTA, Sinarpagibaru.com – Ada banyak istilah dalam penyelenggaraan ibadah haji yang terkadang belum sepenuhnya dipahami masyarakat, termasuk jemaah haji. Terkait biaya haji, misalnya, dikenal istilah BPIH, Bipih, dan Nilai Manfaat.
Staf Khusus Menag bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo mengatakan, penjelasan istilah ini bisa dilihat dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
BPIH, misalnya, adalah singkatan dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 dijelaskan, BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pasal 44 menyebutkan bahwa BPIH bersumber dari Bipih (biaya perjalanan ibadah haji yang harus dibayar jemaah), anggaran pendapatan dan belanja negara, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Biaya Perjalanan Ibadah Haji atau Bipih, kata Wibowo, adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan Ibadah Haji. Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. Sementara Dana Efisiensi adalah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya operasional penyelenggaraan Ibadah Haji.
“Kalau kemarin Kemenag mengusulkan biaya haji 2024 rata-rata sebesar Rp105 juta rupiah, maka itu adalah BPIH. Sedangkan yang harus dibayar langsung oleh jemaah itu namanya Bipih,” terang Wibowo Prasetyo di Bogor, Kamis (16/11/2023).
Wibowo mencontohkan BPIH 2023. Saat itu, Kementerian Agama mengusulkan BPIH 1444 H dengan rata-rata sebesar Rp98.893.909,11. Setelah dibahas Panja BPIH, dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR dan Pemerintah, disepakati rerata BPIH 2023 sebesar Rp90.050.637,26. Komposisi BPIH terdiri atas: Bipih yang dibayar jemaah pada 2023 rata-rata sebesar Rp49.812.700,26 (55,3%), dan nilai manfaat sebesar rata-rata Rp40.237.937 (44,7%)
Lantas berapa Bipih 2024 yang harus dibayar jemaah? Wibowo menjelaskan bahwa itu belum ditetapkan. Sebab, saat ini panitia kerja (Panja) yang dibentuk Pemerintah dan Komisisl VIII masih mengkaji usulan Kemenag sebesar Rp105 juta.
“Panja melakukan kajian setiap komponen usulan Kemenag, termasuk mempertimbangkan nilai kurs Dollar dan Riyal terhadap rupiah,” papar Wibowo.
“Panja BPIH juga akan mengecek harga layanan di dalam negeri dan Saudi, mulai transportasi, akomodasi, dan konsumsi. Kemenag juga mengusulkan tambahan layanan makanan di Makkah pada tahun 2024 hingga 84 kali,” sambungnya.
Hasil kerja Panja, lanjut Wibowo, selanjutnya akan dibawa ke Rapat Kerja Kemenag dan Komisi VIII untuk disepakati. Setelah BPIH 2024 disepakati, baru akan dibahas komposisi Bipih yang harus dibayar jemaah dan nilai manfaat.
“Dana Nilai Manfaat dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji. Besaran Bipih yang dibayar jemaah, sangat tergantung juga pada besaran nilai manfaat yang bisa disiapkan BPKH,” tegas Wibowo.
Hal senada disampaikan Juru Bicara Kemenag Anna Hasbie. Dia msnggarisbawahi bahwa BPIH itu berbeda dengan Bipih. Usulan Rp105 juta adalah BPIH, dan itu bukan dana yang harus dibayar jemaah.
“Dana yang dibayar jemaah namanya Bipih dan itu hanya salah satu komponen BPIH. Jumlahnya berapa, belum ditetapkan,” tandasnya.
(Rls/Nvr)