Belgia, Sinarpagibaru-Sejak pemerintahan Taliban menguasai Ibu Kota Kabul Afganistan selama 3 tahun ini, pada 15 Agustus 2021, kebebasan pers di negara ini mengalami kemunduran. Berdasarkan catatan International Federatiaon of Journalists (IFJ) menyampaikan, hampir 80 persen jurnalis perempuan tidak diperbolehkan lagi bekerja, karena pemberlakuan aturan yang ketat dari rezim Taliban.
Sebagian lagi, para jurnalis terpaksa bersembunyi, karena sering mendapat ancaman, intimidasi, penahanan sewenang-wenang, dan mendapat perlakuan kekerasan. Namun IFJ bersyukur, karena sampai satu tahun terakhir ini belum ada jurnalis yang menjadi korban pembunuhan. Tapi berdasarkan laporan Kebebasan Pers Asia Selatan 2023-24 (SAPFR 23-24) yang dikeluarkan IFJ, menyoroti 14 penangkapan jurnalis yang dianggap melanggar hukum.
Kemudian, terjadi penutupan tiga perusahaan media, antara tanggal 1 Mei 2023 hingga 30 April 2024, dengan tercatat adanya insiden penghilangan paksa, penghinaan, pemanggilan hukum, dan penyiksaan. Persatuan Jurnalis Independen Afghanistan (AIJU) mencatat, terdapat 85 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2023. Termasuk mendapat perlakuan kekerasan herbal.
Selain itu, Rezim Taliban telah membuat aturan yang ketat kepada masyarkaat yang menggunakan media sosial, terkait sumber berita dan informasi penting di negara tersebut. Jurnalis Afghanistan juga kini diwajibkan harus mendapatkan persetujuan dahulu dari pejabat Taliban dalam menyiarkan konten berita. Atau tepatnya dilarang menerbitkan konten berita yang dianggap ‘bertentangan dengan Islam’. Hal ini berdasarkan ’11 Aturan untuk Jurnalis’ yang baru-baru ini dikeluarkan oleh rejim Taliban.
Sementara itu beberapa platform online melanjutkan aktivitas mereka dengan persetujuan tersebut dan dukungan pemerintah Taliban. Bagi pihak yang beroperasi bertentangan dengan kepentingan rezim, akan menghadapi sensor dan penyaringan. Atau pembatasan selektif terhadap akses terhadap konten atau platform tertentu, serta risiko pencabutan izin usaha media. (AH/IFJ.ORG)