Sinarpagibaru.com – Ibukota DKI Jakarta itu kota paling termaju di Negara Indonesia, serta salah satu bagian sejarah kota tertua di peradaban nusantara. Karena, sejak abad ke-14, Jakarta sebelumnya telah berganti-ganti nama. Mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia di era kolonial penjajahan VOC Belanda. Nah, pada 1942, setelah Jepang menjajah bangsa ini, mereka pun langsung merubah nama-nama yang identik dengan Belanda. Pada Juni 2022, nama Batavia pun diganti menjadi Jakarta dan akhirnya setiap tahun diperingati Hari Ulang Tahun Kota Jakarta.
Selain itu, Kota Jakarta sudah menjadi kota urbanisasi dari era penjajahan sampai sekarang ini. Sebab, kota ini tempat perputaran bisnis dan ekonomi. Sehingga, tak heran banyak orang dari segala penjuru daerah datang menyerbu ibukota untuk mengadu peruntungan nasib. Tentunya, ketika mereka tinggal di kota ini, pasti bermimpi menjalankan berbisnis, bekerja dan ingin menikmati kehidupan yang layak.
Tapi faktanya, kota ini belum mewujudkan impian indahnya kepada rakyatnya. Minimnya lapangan kerja, kemiskinan, pengangguran, kriminalisasi tinggi, kemacetan dan salah satu kota polusi tertinggi di dunia serta masih lemahnya pelayanan publik adalah persoalan klasik kota Jakarta yang telah memasuki usia 495 tahun. Apalagi, berdasarkan hasil laporan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, jumlah penduduk DKI mencapai 10,6 juta jiwa. Jadi tak heran, Jakarta kota terpadat di Indonesia. Sehingga menimbulkan persaingan ketat. Artinya, siapa yang lemah, pasti tersisihkan.
Lalu apa penyebab kota Jakarta begitu memiliki masalah kompleks? Penulis menilai persoalan ini tak jauh dari soal kebijakan politik yang belum memihak pada keadilan. Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta paling tertinggi di Indonesia. Bahkan, pada 2023, wakil rakyat DKI bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi memutuskan APBD sebanyak Rp83,7 triliun.
Nah, persoalan APBD tinggi ini sering diperdebatkan publik, karena rentan menjadi ladang korupsi yang dilakukan para oknum elit politik dan birokrasi DKI Jakarta. Alexander Marwata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, pada pertengahan Desember 2022, pernah mengingatkan bahwa anggaran besar APBD DKI Jakarta sangat tinggi. Sehingga rawan korupsi, jika tidak dikontrol secara ketat.
Alexander juga menyinggung soal hasil pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para pejabat di DKI Jakarta. Dimana, banyak para oknum pejabat yang memiliki puluhan bidang aset tanah. Sehingga patut dicurigai, dari mana asal-usul mereka memiliki harta sebanyak itu. Namun, ditengah oknum pejabat Pemprov DKI Jakarta banyak menimbun hartanya, ternyata jumlah tingkat pengangguran terbilang tinggi. Berdasarkan BPS DKI, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada 2022 mencapai 410.585 jiwa. Kemudian, pada September 2022, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta tercatat 502.040 jiwa. Nah, hasil survei yang dilakukan Wicaksono Sarosa Direktur and Chief Knowledge Worker Ruang Waktu pada 2021 lalu, membeberkan tingkat kepuasan rakyat Jakarta terhadap kinerja Pemprov DKI Jakarta masih tidak puas dalam mengatasi banjir, kemiskinan dan polusi yang begitu tinggi.
Miris memang, dibalik indahnya gedung pencakar langit dan gemerlap lampu Kota Jakarta, ternyata soal hak pelayanan publik yang semestinya didapat rakyat belum terealisasi secara maksimal. Para wakil rakyat DKI Jakarta yang semestinya menjadi penyambung lidah aspirasi rakyat pun terkesan tak hadir ditengah rumitnya persoalan rakyat.
Nah, ditengah rakyat Jakarta mengalami krisis kepercayaan terhadap politik, Fraksi DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di era Anies Baswedan menjabat gubernur, mampu bersikap kritis menyikapi aliran APBD yang dikelola Pemprov DKI Jakarta. Pada 2019, mereka berani membongkar dugaan penyimpangan dana pengadaan lem aibon serta pulpen.
Dimana anggaran ini masing-masing sebesar Rp82,8 miliar dan Rp123 miliar. Lalu, menolak pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran pendapatan belanja daerah (P2APBD) DKI Jakarta pada 2020 dari Gubernur Anies Baswedan. Alasannya, karena anggaran ajang balap mobil listrik Formula E ini dinilai bermasalah serta belum dituntaskan penyelenggaraannya. Intinya, selama Anies Baswedan menjabat Gubernur DKI, Fraksi PSI DKI Jakarta dikenal fraksi minoritas, tapi mampu menunjukan taringnya sebagai oposisi kritis.
Merubah Paradigma;
Pemilu 2024 sudah didepan mata. Untuk menyambut pesta demokrasi yang diadakan setiap 5 tahun sekali ini, Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PSI Jakarta sekarang sedang sibuk menyeleksi peserta Bakal Calon Legislativ (Bacaleg), untuk melahirkan pemimpin rakyat yang berkualitas. Kalau pun nantinya PSI Jakarta merekomendasikan calon legislativ (Caleg) yang berintegritas, apakah mereka bisa memenangkan kontestasi politik di Pemilu 2024? Tentu pertanyaan ini menjadi tantangan berat.
Memang, pada Pemilu 2019, PSI Jakarta mampu menunjukan prestasinya, karena mampu menghantarkan 8 kursi di DPRD DKI Jakarta. Namun, ada baiknya jangan langsung berpuas diri. Sebab, tantangan politik di Jakarta itu semakin berat. Setiap Caleg PSI Jakarta yang terpilih nantinya harus bekerja keras merebut simpati rakyat. Baik merebut suara dari kelas menengah ke atas sampai akar rumput. Belum lagi, para caleg PSI Jakarta pasti bakal berhadapan langsung dengan politikus busuk yang menyamar menjadi ‘sinterklas politik’.
Mereka akan merayu rakyat dengan memberikan uang dan sembako gratis supaya terpilih menjadi wakil rakyat. Dan kemungkinan besar, politik identitas juga bakal dihembuskan kembali, dengan memainkan isu sara dan agama untuk meraup kemenangan suara. Artinya, jika ingin menang, PSI Jakarta ada baiknya tidak usah lagi terlena sebagai partai yang dipilih kelompok kelas menengah (middle class). Paradigma seperti itu sebaiknya harus sudah dirubah.
Bagi caleg yang bertarung, harus berani menegaskan PSI adalah partai milik semua golongan. Termasuk percaya diri bertemu rakyat kecil untuk berdialog. Memberikan pendidikan politik, mengadvokasi hak publik serta melawan arus politik uang. Setiap kader dan caleg PSI Jakarta juga harus bisa menerjemahkan visi dan misi ideologi PSI dihadapan rakyat Jakarta. Berkomitmen menjadikan PSI sebagai partai yang bersahabat, memiliki solidaritas kuat untuk memanusiakan manusia. Sebab, berdasarkan penelusuran penulis ditengah masyarakat, pada umumnya rakyat yang termarjinalkan sudah apatis terhadap politik. Bagi mereka, politik itu adalah uang.
Mereka sudah terlalu muak dengan janji-janji manis para politikus busuk saat Pemilu. Namun, setelah terpilih, rakyat susah menjumpai anggota dewannya untuk melaporkan segala keluhan hak publik. Atau tepatnya, rakyat masih percaya, DPRD DKI Jakarta yang memiliki gaji tinggi dan fasilitas mewah. Tapi bathin mereka merasa nggak merasa punya wakil rakyat yang sebenarnya.
Penulis masih ingat apa yang diucapkan Bertolt Brecht seorang penyair dari Jerman. Dia pernah mengatakan ‘Buta terburuk adalah buta politik. Orang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung pada keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar aku benci politik!. Sungguh bodoh dia yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan dan yang terburuk korupsi serta perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri’.
Artinya, keadaan rakyat Jakarta hari ini telah banyak mengalami buta politik. Sebab, mereka memang sengaja dibutakan oleh oknum politikus untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ditengah situasi memprihatinkan ini, PSI Jakarta harus hadir memberikan pencerahan politik. Karena esensi politik sebenarnya adalah alat untuk merubah kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik. Jadi, tantangan berat ini harus dijawab, melalui kerja-kerja politik yang nyata sehingga bisa menggembirakan rakyat.
Hasil survei terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada periode 31 Maret-4 April 2023, lembaga ini hanya memprediksi suara PSI secara nasional hanya meraup suara sebesar 1%. Sementara, hasil Survei Nusantara Strategic Network (NSN) menyampaikan suara PDIP, PSI, dan Golkar bakal menduduki posisi tiga besar partai politik di DKI Jakarta. Elektabilitas PDIP mencapai 24,5 persen, PSI sebesar 20,3 persen, dan Partai Golkar sebesar 10,0 persen.
Menurut penulis, walau suara PSI di Jakarta di prediksi naik pada Pemilu 2024, tapi ada baiknya untuk tidak terlena. Sebab, hasil survei itu bukan tolok ukur maupun jaminan kemenangan sebuah partai. Melainkan semangat militansi, gotong royong dan memberikan ide serta gagasan kepada rakyat itulah kunci kemenangan yang sejatinya.
(Andreas SC Hutagalung, Jurnalis dan Aktivis Buruh di Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia/KSBSI)