IKOHI Beberkan, Hasil Pertemuan Dengan Dasco Korban dan Keluarga Penculikan Aktivis Pro Demokrasi Dapat Duit Rp 1 Miliar

Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) saat memberikan keterangan pers di Kantor YLBHI Jakarta Pusat (Photo: AH)

Jakarta, Sinarpagibaru-Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) bersikap kritis atas pertemuan beberapa perwakilan keluarga orang hilang dengan Sufmi ahmad Dasco Wakil Ketua DPR RI yang juga Ketua Harian DPP Partai Gerindra. Pasalnya, sampai hari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bertanggung jawab dalam penyelesaian kasus penculikan, penyiksaan. Serta penghilangan paksa aktivis prodemokrasi tahun 1997-1998 di era rezim diktator Orde Baru (Orba).

Sikap ini disampaikan dalam keterangan pers yang disampaikan Usman Hamid (Anggota Dewan Penasihat IKOHI), Wilson (Dewan Penasihat IKOHI), Zaenal Muttaqien (Sekum Badan Pekerja IKOHI), dan Wanmayetti (Ketua Badan Pekerja IKOHI). Dalam keterangannya itu, IKOHI mempertanyakan etika dari para inisiator pertemuan tersebut, karena sangat sarat kepentingan politik praktis.

Zaenal Muttaqien dalam keterangannya mengatakan IKOHI memperoleh konfirmasi tentang adanya pertemuan tersebut awal Agustus 2024 di Hotel  hotel Fairmont, dengan sebagian korban dan keluarga korban. Informasi ini di dapat dari media sosial, khususnya usai Sufmi Dasco mengunduh foto-foto pertemuan tersebut di akun Instagram dan dimuat dalam berita di media online.

“Dari foto nampak sejumlah korban penculikan seperti Mugiyanto Sipin dan Aan Rusdianto beserta keluarga korban aktivis yang hilang. Diantaranya Utomo D. Rahardjo, Paian Siahaan, dan lainnya,” uucap Zaenal Muttaqien, di Kantor YLBHI Jakarta Pusat, Kamis (15/8/2024).

Selain itu, IKOHI juga membeberkan bahwa mereka memperoleh bukti bahwa pertemuan tersebut diinisiasi dan difasilitasi oleh pejabat staf Kantor Staf Presiden (KSP) yang pernah menjadi korban penculikan aktivis pada 1998. Yaitu Mugiyanto Sipin.

Menurut sumber kredibel IKOHI, pertemuan ini disertai pemberian uang senilai Rp1 Miliar kepada setiap korban dan para keluarga korban yang hadir sebagai tanda “tali kasih”. Hingga kini mereka yang hadir pun masih menutup-nutupi pemberian uang tersebut.

IKOHI menilai, para inisiator pertemuan Hotel Fairmont sengaja memanfaatkan kerentanan struktural sosial-ekonomi keluarga korban untuk tujuan dan kepentingan pragmatis jangka pendek mereka sendiri. Mereka juga memanfaatkan situasi keluarga korban yang mengalami kelelahan fisik dan mental akibat perjuangan panjang puluhan tahun tanpa kepastian keadilan dari negara.

Baca Juga :  Gerak Politik Ridwan Kamil di Jakarta Semakin Terhadang

“Mereka gagal dalam memerankan dirinya di dalam kantor Staf Presiden untuk memenuhi janji mereka tentang program pemulihan hak para korban melalui PPHAM. Kegagalan dan ketidakmampuan mereka kemudian ditutupi dengan cara memanfaatkan sebagian korban dan keluarga korban yang berpikir pragmatis,” katanya.

Kegagalan atas realisasi pemulihan hak korban ini lalu menjadi celah yang dimanfaatkan para inisiator demi memuluskan tindakan politik transaksional dengan membuat kesan seolah pertemuan dengan para elite partai Gerindra adalah bagian dari PPHAM.

Bagi IKOHI, cara-cara seperti itu tidak etis dan tidak lebih dari sekadar upaya picik yang memanipulasi kerentanan ekonomi dan kelelahan fisik korban dalam mencari keadilan yang tak kunjung ditegakkan oleh otoritas negara. IKOHI mencatat, politik transaksional pernah terjadi di kasus Tanjung Priok dan Talangsari Lampung.

“Polanya mirip, para inisiator memanfaatkan kerentanan ekonomi dan kelelahan korban, termasuk merangkul sebagian korban agar mengajak korban lainnya untuk mau berdamai dengan mahar uang dan janji-janji dukungan ekonomi dan usaha,” ungkapnya.

Secara lebih luas, IKOHI juga mencermati ulah segelintir orang dan kelompok oportunis yang mengatasnamakan aktivisme untuk menjadi tenaga ahli, staf khusus, dan konsultan politik di balik layar pada momen-momen politis seperti pemilihan umum.

“Jika calon yang didukung menang, mereka berharap jabatan. Ketika kalah, mereka mencari cara untuk bisa kembali menjadi aktivis/akademisi sambil terus mencari peluang keuntungan dari politik transaksional baik dari kandidat politik yang didukung maupun jejaring oligarkinya,” sindirnya.

“Melalui pernyataan ini, IKOHI sekali lagi menyatakan kritik keras dan penolakan kami serta menyuarakan sikap para keluarga korban yang menyesalkan cara-cara manipulatif yang transaksional, pragmatis, dan oportunistik dari mereka yang mengatasnamakan hak asasi manusia dan demokrasi padahal untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya,” tambahnya tegas.

Baca Juga :  Semangat Gotong Royong dan Perjuangan Bukti Nyata Dilakukan Bamusi Tanpa "Embel - Embel"

IKOHI menegaskan, pertemuan dan pemberian uang semacam itu tidak akan dapat menghapus tanggungjawab negara untuk menggelar proses hukum atas pelanggaran berat HAM dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa para aktivis 1997/1998.

Menurut Usman Hamid, pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) tidak mengenal kedaluwarsa atau berakhirnya batas waktu penuntutan.

“Penghilangan paksa para aktivis adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak mengenal kedaluwarsa, kesalahan pelakunya tidak bisa diampuni dengan amnesti atau atas alasan perintah atasan atau atas dalih pernah ada pengadilan yang digelar. Sampai kapan pun, negara tetap wajib untuk menghukum pelaku utamanya,” tegas Usman.

Artinya, ketentuan Pasal 46 UU 26/2000 menyatakan, “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.” Nah, dengan tidak berlakunya ketentuan daluwarsa dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.

“Maka kasus penghilangan paksa aktivis 1997 dan 1998 tetap dapat diproses dan diadili,” tegas Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu,” jelasnya.

Anggota keluarga korban penghilangan paksa dan Gerakan HAM masih tetap relevan untuk terus menuntut tanggung jawab Jokowi dan Prabowo melalui pembentukan pengadilan ad hoc HAM, mencari kejelasan nasib dan keberadaan aktivis yang hilang, memulihkan hak- hak para korban, dan meratifikasi Konvensi PBB Tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, sesuai empat rekomendasi DPR RI tahun 2009. (AH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *