Jakarta, Sinarpagibaru.com-Hery Chariansyah Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) hari ini resmi mendapat gelar Doktor bidang ilmu hukum dengan lulus meraih predikat sangat memuaskan dari program S3 Doktoral Ilmu Hukum Universitas Borobudur. Hery yang juga dosen Imu Hukum Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) ini berhasil mempertahankan sidang desertasi dengan judul “Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Berdasarkan Hukum Hak Asasi Manusia Sebagai Pembaharuan Hukum Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual” di Universitas Borobudur Kalimalang Jakarta Timur, Kamis (3/10/2024).
Berdasarkan pantauan, sidang desertasi tersebut memakan waktu lebih dari 1 jam. Tampil sebagai punguji desertasi, adalah Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.M, Prof. Ir. Bambang Bernanthos, M.S.c, Pr. Dr. Ade Saptomo S.H., M.S.i, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein S.H., M.H, Dr Rahmat Muhajir Nugroho, S.H., MH., Dr. Darwati S.H., M.H.
Hery menjelaskan, bahwa penerapan hukum kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual memang masih pro-kontra. Bagi sebagian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), hukuman kebiri kimia ini dinilai telah melanggar HAM dan tidak berperikemanusiaan. Kemudian Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga ikut menolak karena dianggap kebiri kimia adalah melanggar kode etik dunia kedokteran.
“Namun dalam konteks perlindungan anak, pemberlakuan hukuman kebiri kepada pelaku seksual dinilai sebuah kemajuan hukum di Indonesia untuk melindungi korban dari kejahatan kekerasan seksual,” jelasnya.
Namun kata Hery, bahwa pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) pengganti Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2016 yang mengubah UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didorong oleh kenyataan. Sebab, hukuman pidana sebelumnya bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera yang memadai.
Kemudian, revisi ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku serta memberikan perlindungan lebih efektif kepada anak-anak dan mencegah terjadinya kejahatan kekerasan seksual. Dia menegaskan, yang dimaksud kebiri kimia adalah pemberian zat kimia anti-androgen melalui suntikan atau obat oral yang mempengaruhi otak untuk menurunkan gairah seksual.
Begitu juga, hukuman kebiri kimia di Indonesia sudah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak, pada pasal 81 ayat (7). Dimana pemerintah menggunakan kebiri kimia untuk memberikan efek jera dan mencegah kekerasan seksual terhadap anak. Lalu dalam desertasinya, ia mempertegas hukuman kebiri kimia dilaksanakan pemerintah melalui tenaga medis, yaitu dokter. Pengadilan hanya berwenang untuk menjatuhkan hukuman kebiri kimia sebagai bagian putusan hakim.
“Efek dari kebiri kimia ini tidak permanen dan harus dilakukan secar berulang atau periodik selama masa rehabilitasi. Biasanya selama 3 sampai 5 tahun,” jelasnya.
Dalam desertasinya, Hery menegaskan, walau sampai hari ini hukuman kebiri kimia masih menuai pro kontra, tapi ia setuju dengan penerapan hukuman tersebut. Karena hukuman kebiri yang diberlakukan ini menerapkan standar dunia medis. Agar hasrat seksual si pelaku kekerasan seksual menjadi menurun.
“Penerapan hukuman kebiri juga sudah diatur dalam PP Nomor 70 Tahun 2020 yang mengatur tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, termasuk aspek medis yang harus dipatuhi. Dan si pelaku menjalani hukuman kebiri kimia, setelah dia menjalani masa hukuman pokok pidananya,” pungkasnya.
Hery menyarankan, untuk mencari solusi dari perdebatan pro kontra kebiri kimia, maka solusinya, maka pemerintah perlu melakukan pembaharuan subtansi hukum terkait penerapan hukum kebiri kimia. Lalu membentuk kelembagaan yang sifatnya menjadi struktur pelaksana dari hukuman kebiri kimia. Yakni dengan melibatkan organisasi IDI, lembaga HAM dan aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung sebagai penanggung jawab eksekusi hukuman kebiri kimia.
Kemudian, pembentukan kelembagaan ini idealnya dibawah tanggung jawab pemerintah. Atau opsi lainnya pemerintah bekerja sama dengan organisasi IDI yang ditugaskan memberikan pelatihan dan pendidikan serta memiliki kualifikasi untuk melakukan eksekusi kebiri kimia.
“Termasuk memastikan saat pelaksanaan eksekusi harus sesuai standar medis dan hukum yang berlaku. Sehingga kedepannya mampu menjembatani hukum positif dan hukum HAM tidak saling berbenturan, saat pelaksanaan eksekusi hukuman kebiri kimia,” tandasnya. (Andreas Hutagalung).