Sinarpagibaru.com – Perencanaan tata ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan mempertimbangkan wawasan lingkungan, efisiensi dalam alokasi investasi, bersinergi, dan dapat dijadikan acuan dalam program pembangunan. Dengan perencanaan yang tepat maka pemerataan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan dapat tercapai.
Oleh karena itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) di daerah. Seperti yang dilakukan pada Kamis (15/06/2023), telah terselenggara Rapat Koordinasi Lintas Sektor bersama kementerian/lembaga untuk membahas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur.
Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak memaparkan, Provinsi Jawa Timur adalah provinsi yang berada di jalur perdagangan strategis terutama skala domestik. Ia menyebut, Jawa Timur adalah penyumbang hampir seperlima perdagangan di seluruh Indonesia. “Kita punya keterkaitan yang erat dengan wilayah timur Indonesia. Jadi dari Pelabuhan Tanjung Perak banyak berinteraksi dengan Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, bahkan Papua, sehingga logistik di sini (wilayah timur, red) banyak sekali di-supply dari Jawa Timur,” ungkapnya dalam rapat yang berlangsung di The Westin Jakarta.
Pesatnya pertumbuhan Jawa Timur juga diiringi dengan permasalahan yang muncul, di antaranya terkait alih fungsi lahan dan kerawanan bencana. Pada isu alih fungsi lahan, tekanan jumlah penduduk yang tinggi dan urbanisasi dapat mengurangi ketersediaan lahan pangan dan menyebabkan alih fungsi lahan. “Kita perlu memastikan bagaimana keputusan mengenai proporsi lahan pangan yang ingin kita pertahankan dan konsekuensinya,” ungkap Emil Elestianto Dardak.
Soal kerawanan bencana, Wakil Gubernur Jawa Timur mengatakan, selain faktor alam, faktor manusia juga berperan penting dalam menjaga alam itu sendiri. Oleh karena itu, RTRW Provinsi Jawa Timur telah disusun dengan mengedepankan aspek mitigasi bencana yang lebih komprehensif. “Selain top down melihat dari ecology structure dan economy direction, kita juga harus bottom up, melihat permasalahan tata ruang selama 20 tahun terakhir sehingga tidak terulang permasalahan-permasalahan yang sama. Inilah tantangan kita bersama bagaimana mengenforcement masyarakat untuk menerapkan tata ruang yang benar,” terangnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Direktur Jenderal Tata Ruang, Gabriel Triwibawa mengungkapkan, pembangunan berkelanjutan tidak hanya berfokus pada peningkatan ekonomi, namun juga pada aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan. “Dengan potensi gempa vulkanik, longsor dan bencana lainnya, saya sangat mendorong pembangunan kita harus menyelaraskan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan, juga aspek sosial. Kita tidak bisa mengeksploitasi wilayah-wilayah tersebut dengan mengorbankan daya dukung dan daya tampung lingkungan,” tegasnya.
Lebih lanjut Gabriel Triwibawa menjelaskan, ke depannya kebijakan pembangunan kewilayahan baik pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) akan berfokus pada koridor Bali-Nusa Tenggara atau yang lebih dikenal dengan Bali-Nusra. Hal ini akan menguatkan positioning Jawa Timur menjadi hub dalam koridor Bali-Nusra melalui pelabuhan-pelabuhan yang menyambungkan Pulau Jawa dengan Nusa Tenggara.
Kepada para perwakilan pemerintah daerah yang hadir, Direktur Jenderal Tata Ruang berpesan agar dapat menyinkronkan muatan RTRW Provinsi dengan RTRW Kabupaten/Kota, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan.
Senada dengan Direktur Jenderal Tata Ruang, Ketua Pansus Ranperda RTRW Provinsi Jawa Timur, Lilik Hendarwati berharap, pembahasan RTRW ini dapat mengintegrasikan antara kebijakan strategis pusat dan kebijakan daerah. Selain itu, dapat pula mewujudkan Jawa Timur menjadi wilayah yang aman, nyaman produktif, dan berkelanjutan dengan mengedepankan kepentingan masyarakat. (Gtg)