Pesta demokrasi dalam Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) Serentak 2024 telah usai. Namun proses demokrasi ini seringkali meninggalkan jejak berupa perpecahan di tengah masyarakat. Di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, yang dikenal dengan keindahan alam dan keragaman budaya Batak, tantangan ini juga tak terelakkan. Masyarakat, yang sebelumnya hidup berdampingan dengan harmoni, terkadang terbelah oleh perbedaan pilihan politik. Kini, saatnya kita bersama-sama merajut kembali persatuan yang mungkin sempat terkoyak.
Masyarakat di kawasan Danau Toba memiliki sejarah panjang sebagai komunitas yang menjunjung tinggi nilai gotong royong dan kebersamaan. Dalam tradisi suku Batak, misalnya, filosofi Dalihan Na Tolu mengajarkan pentingnya menghormati satu sama lain. Nilai ini relevan untuk diterapkan pasca-Pilkada, di mana penghormatan terhadap perbedaan pilihan politik harus menjadi landasan untuk kembali merajut persatuan.
Perbedaan pilihan politik bukanlah alasan untuk memutuskan tali persaudaraan. Sebaliknya, perbedaan ini dapat menjadi kekuatan jika masyarakat mau saling mendengarkan dan belajar dari sudut pandang yang berbeda. Dialog terbuka di antara warga menjadi langkah penting untuk menghapus sisa-sisa ketegangan yang mungkin ada.
Pemimpin daerah yang terpilih memiliki peran sentral dalam menciptakan rekonsiliasi di masyarakat. Dalam hal ini, kepala daerah harus bersikap inklusif dan merangkul semua pihak. Tanpa membedakan pilihan politik di masa lalu. Keberhasilan kepemimpinan tidak hanya diukur dari capaian pembangunan fisik, tetapi juga dari kemampuan menyatukan masyarakat.
Tokoh adat, pemuka agama, dan aktivis masyarakat sipil juga memiliki tanggung jawab besar. Sebagai figur yang dihormati, mereka dapat menjadi jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan persatuan. Dengan mengadakan kegiatan bersama seperti doa lintas agama, diskusi budaya, atau kerja bakti massal, hubungan antarwarga dapat diperkuat kembali.
Generasi muda di kawasan Danau Toba juga memiliki andil besar dalam merajut persatuan. Dengan akses informasi yang lebih luas, mereka dapat menjadi agen perubahan yang mengedepankan nilai toleransi dan persaudaraan. Media sosial, yang sering menjadi arena perdebatan politik, dapat diubah menjadi ruang untuk menyebarkan pesan-pesan positif dan inspiratif.
Komunitas pemuda dapat menginisiasi program-program seperti pelatihan keterampilan bersama, festival budaya, atau kegiatan lingkungan. Selain mempererat hubungan antarwarga, kegiatan ini juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Danau Toba bukan hanya kebanggaan masyarakat setempat, tetapi juga milik seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menjaga kelestarian kawasan ini menjadi tanggung jawab bersama. Lingkungan yang terjaga akan memberikan dampak positif, baik bagi masyarakat lokal maupun bagi pariwisata yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama daerah.
Dengan bergotong royong membersihkan dan melestarikan kawasan Danau Toba, masyarakat dapat menemukan kembali rasa persatuan. Kolaborasi lintas kelompok ini akan menjadi simbol bahwa masa depan yang lebih baik hanya dapat dicapai dengan kerja sama.
Pilkada adalah momentum demokrasi yang seharusnya menjadi alat untuk memperkuat, bukan memecah belah masyarakat. Pasca-Pilkada, seluruh elemen di kawasan Danau Toba harus berkomitmen untuk merajut kembali persatuan. Dengan menghargai perbedaan, bekerja sama lintas generasi, dan melibatkan semua pihak, masyarakat dapat melangkah bersama menuju masa depan yang harmonis dan sejahtera. Kawasan Danau Toba akan tetap menjadi simbol keindahan, tidak hanya dari segi alam, tetapi juga dari segi keberagaman dan kebersamaan masyarakatnya.
Fernando Simanjuntak SH, Pembina Komite Pemuda Peduli Demokrasi Danau Toba dan BPC GMKI Cabang Jakarta Periode 2023-2025.