Jakarta, Sinarpagibaru.com – Menjelang sidang putusan perkara tindak pidana tipikor debitur fiktif Briguna Bank BRI yang mengatasnakaman Bekang Kostrad Cibinong memasuki babak akhir, duplik dari penasehat hukum terdakwa, Senin (16/6/2025).
Usai pembacaan pembelaannya, salah satu penasehat hukum terdakwa, Tambun Tambunan, SH menyampaikan keterangan persnya, dia mengatakan bahwa perkara ini didominasi oleh lalainya sistem perbankan Bank Rakyat Indonesia (BRI), tegasnya.
Dia menyampaikan, pihak jaksa memaksakan penerapan Undang-Undang Tipikor terhadap kliennya, dengan mengabaikan fakta hukum dan prinsip fundamental dalam pertanggung-jawaban pidana, khususnya terkait dengan kelalaian institusional yang bersifat sistemik dari pihak BRI.
“Berdasarkan fakta persidangan dan hasil audit, terbukti bahwa seluruh proses verifikasi dan validasi terhadap calon debitur sepenuhnya merupakan domain tanggung jawab internal BRI, khususnya pada petugas lapangan (Mantri) dan Relationship Manager (RM), yang memiliki kewajiban melekat dalam memastikan keabsahan identitas calon debitur dan kesesuaian data dengan sistem resmi, seperti Dukcapil”, terangnya.
Lebih lanjut Tambun Tambunan mengatakan, kewajiban dari pihak bank itu justru tidak dilaksanakan. Tidak ada pengecekan NIK, tidak survey, bahkan terhadap seluruh dokumen yang diajukan tetap diproses dan disetujui oleh pihak bank.
Fakta ini menegaskan bahwa terjadinya tindak pidana ini tidak dapat dilepaskan dari kegagalan prosedural yang akut di dalam sistem pengawasan internal BRI, ungkapnya.
Hal lainnya terkait perkara ini adalah, lanjut Tambunan, argumentasi yang disampaikan oleh JPU Koneksitas dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN memiliki tafsir yang berbeda dengan kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa.
Bahwa kedua regulasi tersebut memang mengatur mengenai kekayaan negara dapat diserahkan kepada BUMN melalui penyertaan modal negara, namun sifat kekayaan tersebut berubah setelah dimasukkan sebagai modal disetor.
Tetapi dalam konteks hukum, kekayaan negara yang telah diserahkan kepada BUMN sebagai penyertaan modal negara merupakan kekayaan negara yang telah dipisahkan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN.
“Artinya, kekayaan tersebut tidak lagi tunduk pada mekanisme pengelolaan keuangan negara secara langsung melalui APBN, melainkan telah menjadi bagian dari kekayaan korporasi yang dikelola secara mandiri oleh badan hukum privat, yakni Persero (PT)”, kata Tambunan.
Oleh karena itu, kerugian yang dialami oleh BUMN dalam aktivitas komersialnya, termasuk dalam kasus BRIGUNA yang merupakan produk perbankan komersial PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, tidak otomatis dianggap sebagai kerugian keuangan negara, tegasnya.
Kemudian, JPU Koneksitas yang tetap menyatakan bahwa unsur “kerugian keuangan negara” telah terpenuhi dalam perkara ini, kaca mata kuda semata-mata pada Laporan Hasil Audit BPKP, padahal hal itu justru mengabaikan prinsip substansi atas label dalam penegakan hukum pidana korupsi.
Meskipun laporan tersebut menyebutkan nominal kerugian sebagai kerugian keuangan negara, namun tidak terdapat penjelasan eksplisit bahwa dana yang dirugikan tersebut berasal dari APBN, APBD, pajak, atau bentuk lain dari dana publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Penyebutan istilah “kerugian negara” dalam audit tanpa menguraikan secara konkret sumber dana publik yang dirugikan hanya bersifat deklaratif dan tidak cukup untuk membuktikan unsur yuridis kerugian keuangan negara secara material, katanya.
Lebih lanjut, yang lebih suptansi menurutnya adalah penerapan Undang-Undang Tipikor terhadap perkara ini adalah kekeliruan mendasar dalam penentuan norma hukum yang berlaku.
Menurutnya, naiknya perkara ini telah mengabaikan unsur pokok yang melekat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang korupsi, yaitu keberadaan kewenangan jabatan yang sah serta status pelaku sebagai penyelenggara negara atau aparatur negara aktif pada saat perbuatan dilakukan.
“Dalam kasus ini, klien kami bukan lagi pejabat atau penyelenggara negara yang sedang menjabat, melainkan telah berstatus sebagai pensiunan, sehingga tidak lagi memiliki atribut atau kewenangan jabatan negara yang dapat disalahgunakan.
Dengan demikian, unsur penyalahgunaan kewenangan dalam konteks jabatan publik tidak terpenuhi secara hukum dan fakta”, kata Tambunan dengan tegas.
Hal ini sudah dituangkannya pada duplik yang dibacakannya dalam persidangan, dengan mengambil pertimbangan hakim perkara serupa yakni dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1163 K/Pid.Sus/2010, telah ditegaskan bahwa penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor mensyaratkan adanya hubungan jabatan yang sah dan penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut, bukan sekadar perbuatan melawan hukum secara umum.
Bahwa jika perbuatan dilakukan oleh pihak swasta atau pihak non-penyelenggara negara tanpa adanya keterlibatan wewenang jabatan publik, maka perkara tersebut harus diproses melalui hukum pidana umum (KUHP).
Perbuatan yang didakwakan kepada klien kami lebih merupakan bentuk penipuan dan/atau pemalsuan dokumen dalam proses pengajuan kredit perbankan, serta bila dilakukan bersama-sama dapat dijerat dengan Pasal 55 dan 56 KUHP.
Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa klien kami melakukan perbuatannya dengan menyalahgunakan kekuasaan, jabatan, atau kewenangan negara.
Kliennya bertindak sebagai warga sipil yang tidak memiliki akses struktural terhadap sistem keuangan negara maupun kebijakan publik.
Maka, dia meminta agar penerapan hukum jangan keliru karena akan bertentangan dengan asas legalitas pidana dan prinsip fair trial, yang menuntut agar setiap warga negara hanya diadili berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tepat, relevan, dan sesuai dengan sifat perbuatannya.
Sehingga dalam persidangan yang akan diputus hari Rabu (18/6/2025) nanti, dia meminta Majelis Hakim untuk tidak memaksakan konstruksi hukum Tipikor atas dasar fakta yang belum sempurna tersebut, karena berisiko terjadi pelanggaran terhadap asas legalitas dan due process of law, serta berpotensi menimbulkan preseden keliru dalam penegakan hukum terhadap kasus serupa di masa mendatang, tuturnya.
Hal yang paling disayangkan dalam perkara ini adalah tidak diungkapnya pembayaran-pembayaran cicilan sejak tahun 2016 sampai tahun 2023 dari para debitur.
Padahal pembayaran rutin sejak tahun itu merupakan adanya rasa tanggung jawab kliennya untuk membayar pinjaman yang dia lakukan, dan membuktikan juga Bank BRI juga turut menikmati uang yang disebut uang korupsi dari terdakwa berupa uang administrasi dan uang bunga pinjaman, tutup Tambun Tambunan, SH dalam keterangan persnya. (marudut/red)
Tinggalkan Balasan