Jakarta,Sinarpagibaru.com-Trisnur Priyanto Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DPP FSB GARTEKS KSBSI) mengatakan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja menimbulkan polemik baru.

Dia beralasan, sampai saat ini pemerintah belum memutuskan hasil keputusan MK untuk menghapus Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 Tentang Pengupahan. Jadi, hanya pasal-pasal terkait dalam UU Cipta Kerja saja yang akan dianulir. Seperti pasal 88 B, soal alfa atau indeks tertentu yang disempurnakan dalam upah dan variabel Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

“Menurut saya, putusan MK ini memang tidak tegas, karena tidak membuat norma baru. Seharusnya putusan MK itu mengikat, final dan harus dijalankan,” ucapnya di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur, Rabu (12/11/2024).

Artinya, ketika putusan MK dinilai tidak tegas dan menjadi multi tafsir, akhirnya pihak serikat buruh dan pengusaha dan pemerintah memiliki versi masing-masing mengenai kenaikan upah minimum 2023-2024. Pihak perwakilan serikat buruh mendesak kenaikan upah minimum tahun depan tidak menggunakan PP Nomor 51 Tahun 2023. Sementara pengusaha bersikukuh menggunakan PP tersebut.

“Namun kalau melihat atau membaca hasil putusan MK dalam menentukan kenaikan upah minimum, indeks tertentu wajib memperhatikan beberapa variabel dan kepentingan pengusaha dan buruh. Serta harus melihat kebutuhan KHL pekerja,” jelasnya.

Trisnur juga mengusulkan agar kenaikan upah minimum 2023-2024, sebaiknya alfa naik 1 sampai 1,3, sehingga upah yang layak naik 8 sampai 10 persen. Karena itu, pemerintah sudah harus bergerak cepat untuk mengkaji kenaikan upah minimum sesuai putusan MK. Nah, sementara sampai hari ini pemerintah dn Badan Pusat Statistik (BPS) belum memiliki data KHL.

“KHL itu kan sistem kenaikan upah yang digunakan pemerintah sebelum PP Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Sehingga dari tahun 2015, pemerintah tidak pernah lagi melakukan survei KHL sebelum membuat kebijakan upah minimum,” pungkasnya.

Pasca putusan MK, pemerintah memang sedang membuat rancangan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) masalah penetapan upah 2023-2024. Namun rancangan Permenaker ini belum sepenuhnya disetujui oleh seluruh perwakilan serikat buruh/pekerja. Kalau versi KSBSI, kalau rancangan Permenaker penetapan upah ini dibuat untuk mengejawantahkan hasil putusan MK, maka KSBSI setuju.

“Tapi kalau rancangan Permenaker ini untuk penyesuaian upah yang mengacu PP Nomor 51 Tahun 2023, maka KSBSI menolak,” ucap Trisnur yang juga anggota Dewan Pengupahan Nasional.

Kata Trisnur, alasan KSBSI menolak kenaikan upah minimum 2023-2025 jika mengacu PP Nomor 51 Tahun 2023, karena tidak sesuai KHL dan membuat daya beli buruh semakin menurun. Apalagi, sejak awal, KSBSI sudah menolak PP Nomor 51 Tahun 2023 Tentang Pengupahan. Karena dampak dari kebijakan ini memang menurunkan upah buruh. Intinya, ia menyarankan, sebaiknya pemerintah membuat formula upah minimum 2023-2024 yang disesuaikan KHL saja di daerah masing-masing.

Karena itu, Trisnur menyarankan pemerintah hati-hati dalam menetapkan kebijakan upah minimum 2023-2024. Kalau kebijakan penetapan upah lebih memihak pada kepentingan pengusaha, maka bisa menimbulkan kegaduhan politik. Jadi, pemerintah harus membuat keputusan yang tidak merugikan pengusaha dan buruh.

“Menurut saya pemerintah harus memanggil perwakilan pengusaha, serikat buruh, akademisi untuk berdiskusi. Lalu merumuskan upah minimum yang layak dan tidak mengacu PP Nomor 51 Tahun 2023. Saya pikir sudah saatnya pemerintah merumuskan solusi jalan tengahnya, agar tidak ada lagi kegaduhan politik,” ucapnya.

Selain itu, Trisnur mengatakan sebaiknya pemerintah harus menghapuskan beberapa kebijakan yang membuat ekonomi buruh semakin terpuruk. Seperti menghapus pemotongan pajak penghasilan atau PPh 21, lalu pemotongan jaminan pensiun dari PPh 21, kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%.

“Saya berharap 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, bisa bekerja keras untuk kepentingan masyarakat dan membuat kebijakan yang memihak pada buruh,” tandasnya. (Andreas Hutagalung)