Tak Ada Dilibatkan Dialog, Gereja dan Masyarakat Adat Menolak Proyek 1 Juta Hektar Sawah di Merauke

Pastor Pius Cornelis Manu Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke, Franky Samparante Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) dan Pendeta Ronald Rischard Kepala Biro PGI Papua saat menyampaikan konferensi pers terkait polemik proyek 1 juta hektar sawah di Merauke (Photo: AH)

Jakarta, Sinarpagibaru.com-Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) terkait 1 juta hektar petak sawah di Merauke Papua Selatan mendapat penolakan dari masyarakat adat lokal dan tokoh gereja. Program nasional ini sudah berjalan pada 12 Juli 2024, melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 835 Tahun 2024  tentang penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan.

Penolakan secara kritis ini disampaikan dalam konferensi pers di Media Center Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) Salemba Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2024). Pernyataan sikap tersebut disampaikan Pastor Pius Cornelis Manu Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke, Franky Samparante Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) dan Pendeta Ronald Rischard Kepala Biro PGI Papua.

Franky menyampaikan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 835 Tahun 2024 ini dibawah tanggung jawab Kementerian Pertahanan RI. Luarnya mencapai 13.540 hektar, di kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi di Kabupaten Merauke Papua Selatan.

“Proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke, untuk mencetak 1 juta hektar sawah. Diantaranya proyek ketahanan pangan ini akan membuka lahan perkebunan tebu dan sawah,” jelasnya.

Namun, kata Franky, yang menjadi keberatan dan penolakan masyarakat adat di Merauke, proyek tersebut berada di kawasan hutan adat dan penyumbang oksigen dunia. Kemudian, dalam pengelolaan 1 juta hektar petak sawah tersebut justru diberikan kepada 10 koorporasi perusahaan besar, tanpa melibatkan masyarakat adat.

“Seharusnya masyarakat adat dilibatkan dalam proyek ini. Karena masyarakat adat di Distrik Ilwayab, marga Gebze Moyuend dan Gebze Dinaulik, menyatakan, tanah mereka telah digusur,” ungkapnya.

Franky mengkuatirkan proyek 1 juta hektar petak sawah ini kalau terus dipaksakan pemerintah akan menimbulkan konflik sosial yang baru. Karena, menurutnya, proyek ini telah melanggar hak hidup masyarakat adat. Serta merusak lingkungan hidup yang selama ini sudah diatur dalam peraturan dan perundang-undangan. Dimana, menurutnya, sebuah kebijakan pembangunan pemerintah itu seharusnya mengedepankan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC).

“Didalam prinsip FPIC, jika pemerintah hendak memulai proyek pembangunan, maka pemerintah harus mengajak masyarakat adat untuk berdialog. Masyarakat juga harus diberi ruang demokrasi saat memutuskan hak pendapat dan berunding, apakah mereka juga menolak atau setuju,” jelasnya.

Ada 3 program yang akan dijalankan pemerintah di proyek 1 juta hektar sawah di Merauke. Pertama, proyek perkebunan tebu dan pabrik bioethanol yang akan diberikan kepada 10 koorporasi perusahaan. Kedua, program optimalisasi lahan dibawah Kementerian Pertanian dan dinas terkait seluas 40 ribu hektar. Lalu yang ketiga proyek cetak sawah baru seluas 1 juta hektar dan penanggungjawabnya Kementerian Pertahanan.

Baca Juga :  Menteri AHY Bertemu Panglima TNI, Bangun Sinergi dalam Penyelesaian PSN

Sementara ini pemerintah sudah menjalankan program optimalisasi lahan dan cetak sawah dari bulan Maret 2024 dengan melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Investasi/BPKM. Namun proyek tersebut langsung mendapat penolakan dari masyarakat adat di Merauke.

“Salah satu alasan penolakan, karena masyarakat belum mendapatkan dokumen dan kelayakan lingkungan hidup yang sudah diatur dalam perundang-undangan. Hingga akhirnya, masyarakat adat pun menilai proyek yang dijalankan pemerintah ini brutal, mengabaikan hak hidup manusia,”ucapnya.

Masyarakat Adat Ketakutan

Pius Cornelis Manu mengatakan tanah adat miliknya juga terkena gusur dari kebijakan proyek 1 juta hektar sawah. Ia menjelaskan, kondisi masyarakat adat di Merauke saat ini sangat kecewa dengan pemerintah. Pasalnya, pemerintah, saat membuat proyek ini tidak ada sama sekali mengajak masyarakat untuk berdialog.

“Masyarakat adat di Merauke sekarang ini sedang mengalami antara rasa takut dan bingung. Karena pemerintah tiba-tiba datang, tanpa ada informasi dengan menurunkan jumlah prajurit tentara yang sangat banyak. Serta alat berat untuk membabat hutan dalam memuluskan proyek 1 juta hektar sawah,” ucapnya.

Sebagai pemimpin Gereja Katolik di Merauke, Pius mengatakan akhirnya gereja bersama masyarakat adat berinisiatif menemui kepala desa, camat, bupati dan DPRD, untuk mempertanyakan tujuan proyek ini. Namun, Pius menyampaikan jawaban dari audiensi tersebut tidak memuaskan. Bahkan terkesan ada yang ditutupi.

“Dari bulan Juni 2024 kami sudah melakukan aksi demo penolakan proyek 1 juta hektar sawah di Merauke. Tapi aksi yang kami lakukan belum ada solusi dari pemerintah,” ungkapnya.

Dia menyampaikan, bahwa hati dan perasaan masyarakat adat di Merauke saat ini sangat berkecamuk. Karena hutan adat semakin dibabat oleh alat berat. Padahal, selama ini hutan adalah sumber penghidupan masyarakat adat.

“Pemerintah sekarang ini sudah menghancurkan hutan kami dengan menggunakan 2000 alat berat excavator,” jelasnya.

Pius juga mengungkapkan bahwa dalam hutan adat yang sedang digarap proyek 1 juta hektar sawah di Kabupaten Merauke terdapat taman nasional, suaka marga satwa dan cagar alam. Diantaranya, Cagar Alam Danau Bian, Merauke, Papua, 110.463,62 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: SK.757/Menhut-II/2013 Tanggal 31 Oktober 2013. Cagar Alam Bupul, Merauke, Papua, 92.704,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 891/Kpts-II/1999, 14 Oktober 1999. Cagar Alam Pulau Pombo, Merauke, Papua, 100,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 820/Kpts/Um/11/82, 10 November 1982.

Baca Juga :  Kapolri dan Panglima Sepakat Sinergitas TNI-Polri Kunci Sukses Keamanan KTT ASEAN

Kemudian, Suaka Margasatwa Pulau Dolok PULAU, Merauke, Papua. 664.627,97 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 305/Kpts-II/1998, 27 Februari 1998. Suaka Margasatwa Pulau Komolon, Merauke, Papua. 84.130,40 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 820/Kpts/Um/11/82, 10 November 1982. Suaka Margasatwa Muara Savan, Merauke, Papua. 8,261 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 891/Kpts-II/1999, 14 Oktober 1999. Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua. 413.810 Ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : 282/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997.

Selain itu, ia menegaskan masyarakat adat di Merauke tidak pernah anti dengan program pembangunan, justru sangat mengharapkan untuk memajukan daerah tertinggal. Namun kalau pembangunan 1 juta hektar sawah sekarang ini hanya menguntungkan pengusaha, maka gereja dan masyarakat adat di Merauke menolak.

“Seharusnya proyek 1 juta hektar sawah ini negara melibatkan masyarakat adat, bukan mementingkan bisnis pengusaha. Dan perlu diketahui, kondisi pendidikan dan kesehatan di Merauke sampai hari ini di pedesaan sangat memprihatinkan,” tegasnya.

Hal senada Ronald Rischard, ia menilai proyek 1 juta hektar sawah ini telah merusak kondisi hutan Papua yang selama ini sebagai penyumbang oksigen dunia untuk mencegah perubahan iklim. Dan kata dia, selama ini hutan Papua juga dikenal sebagai hutan hujan untuk kebutuhan pertanian tradisional masyarakat adat.

“Proyek 1 juta hektar sawah di Merauke saya nilai hanya kepentingan oligarki saja. Hanya merusak hutan Papua yang selama ini bagian dari paru-paru dunia,” tegasnya.

Dalam hal ini, Ronald mengatakan seharusnya pemerintah sadar bahwa proyek tersebut juga sangat mengancam kehidupan flora dan fauna serta spesies langka dalam hutan Merauke. Dan sebagian dari hutan yang telah dibabat adalah hutan mangrove untuk melindungi tanah wilayah pesisir yang dapat melindungi pengikisan tanah dari air.

“Memaksakan proyek 1 juta hektar sawah di Merauke sama saja menghancurkan masa depan generasi Papua,” tandasnya. (AH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *