Jakarta, Sinarpagibaru.com– Persoalan konflik agraria, antara masyarakat Kampung Baru, Sidomukti, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara dengan PT. Smart anak perusahaan Sinar Mas belum ada solusinya. Bahkan, beredar kabar, tanah yang sudah diduduki warga ini, akan dikuasai oleh pihak perusahaan.
Pada pertengahan Februari lalu, Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat bersurat kepada Kapolres Labuhan Batu. Dimana dalam surat tersebut, tujuannya untuk mendukung penggusuran yang akan dilakukan PT Smart. Dan kabar terbaru, PN Rantau Prapat menerbitkan surat yang membolehkan PT Smart akan menggusur pada Kamis, 6 Maret 2025.
Misno salah satu warga Kampung Baru, mengatakan dirinya sudah 62 tahun, saya lahir dan hidup diwilayah tanah tersebut. Termasuk bersama lebih dari 300 keluarga petani lainnya, yang tersebar di 6 desa. Ia mengatakan, bahwa orang tua mereka dulunya adalah mereka yang ditransmigrasikan menjadi kuli-kuli kontrak untuk perkebunan asing dimasa penjajahan Belanda.
“Sampai akhirnya tahun 1958-an, setiap orangtua kami punya Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) dan diperbolehkan memiliki lahan hingga 2 hektar. Pada saat itu, kartunya dikeluarkan oleh kantor reorganisasi tanah Sumatera Timur,” ucap Misno, yang juga salah satu perwakilan Kelompok Tani Padang Halaban sekitarnya
Kemudian, Masno menceritakan, pada 1965, ada kejadian yang menyedihkan di desa mereka. Pasalnya tiba-tiba tentara menyerbu ke desa-desa. Dibawah kekuasaan orde baru Soeharto, tentara menangkap dan menyiksa orangtua-orangtua mereka. Karena dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Waktu itu banyak dari teman-teman yang waktu itu berusia 8-15 tahun, dibawa ke lapangan menyaksikan penyiksaan terhadap orang tua kami,” ujarnya.
Pada 1968 itu perusahaan Belanda atas nama Plantagen meminta pemerintah harus memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 30 tahun dan mencoba menggusur keluarga petani yang tersisa. Pemerintah desa dan aparat keamanan kala itu memanipulasi orangtua mereka yang memiliki KTPPT. Pemerintah mengambil kartu tersebut dengan dalih akan diperpanjang.
“Padahal kartu-kartu ini dibakar supaya menghilangkan bukti kepemilikan lahan yang dipunya orangtua kami,” ungkapnya.
Kemudian pada 1972 perusahaan asal Belanda itu diambil alih kepemilikannya oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), anak usaha Sinar Mas Group. Sejak saat itu, penggusuran terus dilakukan kepada para petani yang menduduki lahan di Padang Halaban.
“Hingga orang tua kami saat itu kehilangan 6 desa dan tanah pertanian seluas 3000 hektar yang menjadi sumber penghidupan kami,” ujarnya.
Segala cara sudaah dilakukan untuk merebut hak atas tanah-tanah tersebut. Sejak 2012, Misno bersama Kelompok Tani Padang Halaban hanya berhasil menduduki 83,5 hektar. Di atas tanah itulah saat ini, Misno bersama warga desa menanami palawija. Dimana selama ini menjadi sumber pangan bagi warga desa lainnya. Padahal, kata Misno, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mau Indonesia sedang fokus pada program swasembada pangan.
“Kami hanya memperjuangkan apa yang menjadi hak kami. Hanya 83 hektar, dari 137.000 hektar dari kekayaan yang dipunya PT Smart,” tandasnya. (AH)
Tinggalkan Balasan