SURABAYA, Sinarpagibaru.com – Penguasaan teknologi diperlukan di era digital yang terus berkembang saat ini. Pada tahun 2030, diproyeksikan sekitar 800 juta pekerja diganti dengan robot akibat dari revolusi digital. Hal ini menjadi tantangan bagi generasi muda, termasuk santri untuk terus menggali potensi, kreativitas, dan ide-ide cemerlangnya.
Di sisi lain, tantangan ketenagakerjaan lain yang muncul adalah 800 juta manusia akan kehilangan pekerjaan karena Revolusi Industri 4.0. Menurut ILO, efek pandemi Covid-19 lalu juga sudah menghilangkan 195 juta lapangan pekerjaan.
“Melihat berbagai tantangan yang ada, pesantren yang telah berpengalaman mencetak ribuan cendikiawan agama perlu untuk mempersiapkan para santri, sebagai pilar peradaban agama, dengan enam kecerdasan,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional Refleksi Hari Santi Nasional 2023 yang diadakan oleh Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) di Surabaya, Minggu (29/10).
Menteri Anas menyebut enam kecerdasan tersebut yaitu kecerdasan teknologi, kecerdasan sosial dan emosional, kecerdasan kontekstual, kecerdasan moral, kecerdasan inteligen, serta kecerdasan transformasional inteligen. Selain enam kecerdasan tersebut, para santri juga harus dibekali dengan skill seperti kreativitas, teknologi, komunikasi, serta manajemen dan kepemimpinan untuk menghadapi tantangan global ke depan.
Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu menyebutkan bahwa santri adalah pilar kekuatan bangsa, pondasi kekokohan bangsa dan sudah terbukti sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Banyaknya jumlah santri dan pesantren di Indonesia menjadi sebuah kekuatan besar penentu masa depan bangsa, penentu lompatan kemajuan bangsa juga penentu keberhasilan cita-cita bangsa. Maka dari itu, santri memegang peranan penting dan memegang tongkat estafet untuk Indonesia di masa depan.
Lebih lanjut Anas menyampaikan bahwa manusia menjadi kunci utama yang menggerakan perubahan. Manusia memerlukan kreativitas dan inovasi dalam perspektif spiritualitasnya. Pertama, sebagai khalifah Allah yang dianugerahi akal dan ilmu pengetahuan yang menjadi modal dalam berinovasi dan berkreasi. Kedua, di antara fitrah manusia adalah fitrah intelektual atau aqliyah yaitu memahami dan mempelajari hal baru, termasuk tidak ingin berada di zona nyaman untuk berpikir kreatif dan inovatif, mempelajari hal baru, dan diimplementasikan ke fungsi pembelajaran di pesantren.
“Sebagai contoh, seorang pendidik yang ingin belajar akan selalu berinovasi dan hasil kerjanya pun akan berbeda dengan pendidik yang terjebak zona nyaman. Sehingga, penguasaan teknologi dan inovasi kini menjadi sebuah keharusan. Jika tidak berinovasi, kita akan tertinggal. Maka dari itu, kita perlu mendorong agar santri menjadi lebih inovatif dalam membangun masa depan,” ujar salah satu alumni Pesantren Annuqayah ini.
Pada seminar nasional dengan tema ‘Tantangan Pondok Pesantren dalam Menghadapi Era Digital 5.0’ tersebut Anas juga mengingatkan para santri untuk bijak menggunakan media sosial. Generasi muda yang notabene aktif di media sosial cenderung mudah terpapar paham radikalisme sebagaimana hasil dari survei BNPT di tahun 2020. Generasi milenial (85%) menjadi entitas yang paling rentan terpapar radikalisme.
Pada tahun 2022, pengguna media sosial Indonesia melonjak menjadi 191 juta orang. Angka ini naik 20 juta dibanding tahun sebelumnya. Platform WhatsApp, Instagram, dan Facebook masih memimpin sebagai platform yang paling banyak digunakan oleh masyarakat.
Sebanyak 88.7% masyarakat menggunakan internet untuk mencari informasi, yang mayoritas berada di wilayah urban. Secara rata-rata, masyarakat menghabiskan waktu 8 jam 36 menit perhari untuk berinternet, di mana 3 jam 17 menitnya dihabiskan untuk media sosial. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding waktu membaca media cetak dan online yang hanya 1 jam 47 menit.
Isu sosial dan propaganda di kalangan generasi muda mulai menjadi perbincangan. Sebanyak 3.400 generasi muda di negara barat berhasil direkrut ISIS melalui media sosial. Dari jumlah tersebut, seperenamnya adalah perempuan.
“Oleh karena itu, anak muda harus diajak kembali kepada nilai-nilai keagamaan agar terhindar dari radikalisme dan dapat membangun bangsa yang maju. Propaganda radikalisme biasanya meliputi penyebaran paham radikal, proganda, khilafah, hijrah, dan sebagainya,” pungkasnya. (Gtg)